Selasa, 01 Maret 2011

Ponorogoku

Keadaan Geografis

Letak Daerah Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Magetan dan Kabupaten Madiun di utara, Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Trenggalek di timur, Kabupaten Pacitan di barat daya, serta Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di barat.


Obyek wisata

Ponorogo dikenal dengan julukan kota reog, karena daerah ini merupakan tempat lahirnya kesenian reyog, yang kini menjadi icon wisata Jawa Timur. Setiap tanggal 1 Muharam Suro, kota Ponorogo diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota Ponorogo. Dalam even Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasa diselenggarakan sehari sebelum
tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo jaman dulu,saat masih dalam masa Kerajaan Wengker, diarak bersama pawai pelajar dan pejabat pemerintahan di Kabupaten Ponorogo, dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) di daerah Pasar Pon sebagai kota lama, ke Pendopo Kabupaten. Pada Malam harinya, di aloon-aloon kota, Festival Reog Internasional memasuki babak final. Esok paginya ada acara Larung Do’a di Telaga Ngebel, dimana nasi tumpeng dan kepala kerbau dilarung bersama do’a ke tengah-tengah Danau Ngebel. Even Grebeg Suro ini menjadi salah satu jadwal kalender wisata Jawa Timur. Satu lagi obyek wisata yang yang dapat dikembangkan sejajar dengan obyek wisata didaerah lain yaitu Telaga Ngebel. Panorama yang dapat dilihat di Telaga Ngebel sangat menakjubkan. Danau yang masih alami dan belum banyak terjamah fasilitas umum ini, dikelilingi oleh Gunung Wilis. Merupakan objek wisata potensial, yang mampu mendatangkan turis domestik maupun mancanegara apabila dikembangkan secara matang dan terpadu.

TELAGA NGEBEL


Telaga Ngebel merupakan salah satu tempat wisata yang menjadi andalan kota Ponorogo, yang terletak kurang lebih 25 km sebelah selatan kota Madiun. Tempat wisata ini merupakan tempat wisata yang sebetulnya cukup bagus untuk dikunjungi karena pemandangannya yang menarik, namun karena pengelolaan manajemen yang tidak optimal menjadikan tempat wisata ini tidak begitu dilirik wisatawan.

Di tempat wisata ini kita dapat melihat sebuah telaga yang dikelilingi dengan hutan yang rimbun dan nampak masih sangat alami, cocok sekali untuk tempat beristirahat dan tempat memancing karena suasananya yang teduh dan tenang sehingga kita dapat menghabiskan waktu liburan atau akhir pekan dengan pergi ke tempat wisata ini

Untuk dapat sampai ke telaga ini kita harus melewati jalanan dengan medan yang cukup sulit karena banyak sekali tikungan tikungan tajam, hal ini wajar karena telaga ngebel memang terdapat di daerah pegunungan sehingga tidak mengherankan bila hawa udara disini juga cukup sejuk.

Banyak tempat untuk berteduh yang disediakan di sini, kita dapat juga beristirahat di pinggir telaga sambil memancing atau mengobrol bersama.


MITOS TELAGA NGEBEL


Ngebel menjadi menarik karena punya legenda sendiri bagaimana telaga ini “terbentuk”. Menurut mitos, telaga ini muncul sebagai ekses kemarahan seorang pemuda miskin bernama Baru Klinting yang menjadi bulan-bulanan ejekan penduduk sekitar yang arogan dan rakus. Ia sendiri sebenarnya merupakan manusia jelmaan seekor naga yang baru saja dibunuh oleh warga setempat untuk konsumsi pesta rakyat.
Kedatangan Baru Klinting memicu kemarahan warga, karena mereka tak ingin melihat seorang pemuda berpenampilan lusuh dan dekil. Hanya seorang janda tua bernama Nyai Latung saja yang mau memberikan perhatian kepadanya, termasuk ketika Klinting minta makan-minum. Ejekan dan perlakuan tak adil itu membuat Klinting marah hingga ia berani mengajukan sebuah sayembara kepada warga setempat; menantang mereka apakah mampu mencabut lidi yang dibenamkan di dalam tanah.


Ejekan adalah sambutan massa. Namun, Klinting malah menantang; nyawanya sendiri menjadi taruhannya manakala ia tak mampu melakukan sayembara itu. Di luar dugaan, warga yang marah tak sanggup melakukan itu, selain Klinting sendiri. Namun, ketika ia melakukan itu, segera memancurlah air dari tanah di mana lidi tadi tertancap. Makin lama makin banyak hingga akhirnya terjadilah banjir bandang yang menenggelamkan seluruh warga Ngebel kecuali Nyai Latung. Karena, nenek inilah yang menyelamatkan Baru Klinting di saat menderita kelaparan. Sebelum desa ditenggelamkan, Baru Klinting memberi pesan kepada nenek itu, agar segera naik lesung bila mendengar suara gemuruh air.

Legenda dan kekayaan alam Ngebel inilah yang menjadi daya tarik tersendiri mengapa warga Ponorogo suka mengunjungi telaga ini.

Sejarah Reog Ponorogo

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Ker

tabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit
akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.


Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya . Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Kontroversi

Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia – dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia.. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan “Malaysia” Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa “Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran tersebut.


Sate Ayam Ponorogo
Sate Ponorogo Memang Tidak Ada Duanya


Satenya sih hampir sama dengan sate kebanyakan, yaitu daging ayam yang ditusuk dengan lidi khusus sate, kemudian dipanggang di atas anglo dengan bahan bakar arang kayu..

Yang membedakan sate Ponorogo dengan sate lain adalah potongan daging yang dibuat pipih memanjang, jadi dalam satu tusuk hanya terdiri dari 1 atau 2 potong daging. Satu tusuk sate Ponorogo memiliki ukuran kurang lebih dua kali ukuran sate Madura. Bumbunya terbuat dari kacang tanah dicampur dengan gula aren dan sedikit cabai/lombok..


Di Ponorogo sendiri memang ada sebuah kampung yang menjadi sentra produksi sate, namanya kampung Setono atau yang dikenal dengan sebutan kampung sate. Lokasinya berada di sebelah timur pasar kota. Hampir semua warga kampung tersebut berprofesi sebagai pembuat sate. Salah satunya adalah keluarga Sobikun yang berjualan di timur perempatan pasar kota
Sate Ponorogo bisa dijadikan oleh-oleh karena bisa bertahan selama 2 hari meskipun tanpa bahan pengawet. Jika mau dibawa ke luar kota, sate dimasukkan dalam kemasan yang terbuat dari bilah bambu yang dianyam berbentuk kotak, atau biasa disebut dengan besek..

Ketika berkunjung ke Ponorogo jangan lupa mencicipi lezatnya sate khas Ponorogo ini di kampung sate. Alternatif tempat yang lain adalah di sekitar pertigaan Jl.Soekarno-Hatta, Jl.Jend.Soedirman dan Jl.Gajahmada, atau persis di depan BCA Ponorogo. Di sana berderet-deret puluhan penjual sate. Setelah puas makan di tempat, jangan lupa bawa oleh-oleh buat keluarga atau teman..

NASI PECEL PONOROGO


Masih terbawa nuansa Madiun, Ponorogo juga memiliki pecel. Yang sering dikenal yaitu nasi pecel tumpuk yang ada dijalan kawung 174 mangunsuman


Pecel Tumpuk ini memadukan kembang turi, bayam, kenikir, daun pepaya, tauge, Lalu ada asesoris petai cina atau lamtoro (Bhs. Jawa) dan daun kemangi yang disebut trancam.

Lalu diberi sambal kacang yang pedesnya mantab banget. Untuk melengkapi menu, di meja saji juga disediakan gorengan-gorenang menarik yang meminta untuk dicoba.

Ada trasi dele (yang kali ini menggunakan ketela, bukan gaplek), rimbil yang terbuat dari kelapa, lalu tahu pong goreng, tempe, hingga telur dadar. Itu yang paling aku suka. Lezat.

Sayangnya, warung makan ini baru dibuka pukul 5 sore dan tutup saat sudah habis. Harga seporsinya hanya Rp 3.000,-.